Webinar MIPI Ulas Otonomi Jakarta Pasca tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara
Jakarta – Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (Otda) Direktorat Jenderal (Ditjen) Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Valentinus Sudarjanto Sumito mengatakan, setidaknya dua tahun setelah terbentuknya Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN), maka Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia harus diubah.
“Daerah Provinsi Jakarta harus bersifat khusus dalam hal ini kedudukan Provinsi Daerah Khusus Jakarta merupakan daerah otonom tingkat Provinsi, dan juga Daerah Khusus sebagai Pusat Perekonomian Nasional yang memiliki nilai sejarah Perjuangan bangsa Indonesia,” ujarnya.
Kemudian, sambung Valentinus, Provinsi Daerah Khusus Jakarta berfungsi sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan jasa keuangan, moneter, pelayanan perizinan investasi serta kegiatan bisnis Nasional berskala regional dan global.
Hal itu disampaikan dia dalam webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Webinar dengan tema “Otonomi Jakarta Pasca Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara”.
Webinar ini dihadiri oleh Senator asal DKI Jakarta Prof. Sylviana Murni, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng, Direktur Penataan Daerah, Otsus dan Dewan Pertimbangan Otda Kemendagri Valentinus Sudarjanto Sumito.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Sylviana Murni turut urun pendapat tentang nasib Jakarta ke depan, karena punya pengalaman 31 tahun berkarier di Pemprov DKI Jakarta dan mengalami masa kepemimpinan 7 gubernur.
Dia lantas menjabarkan bahwa UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara mengamanatkan paling lama 2 tahun ke depan harus dilakukan revisi terhadap UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perempuan yang pernah menjadi wali kota Jakarta Pusat (2008-2010) itu yakin setelah tidak lagi menjadi bu kota negara, Pemprov Jakarta masih akan diberi kewenangan khusus desentralisasi asimetris, sebagaimana DI Yogakarta, Papua, Papua Barat, dan Aceh.
“Jakarta tetap mendapat kewenangan khusus berupa otonomi tunggal di tingkat provinsi meski tidak lagi menjadi ibukota negara,” kata Sylviana Murni, anggota DPD dari dapil DKI Jakarta itu.
Menurut Sylviana, Jakarta setelah tidak menjadi Ibukota Negara akan menjadi kota khusus, entah seperti daerah khusus di Aceh, Yogyakarta atau yang lainnya, sehingga pemberlakuan desentralisasi asimetris ini dapat dirujuk dari konstitusi.
“Jakarta akan menjadi daerah khusus pertama yang mendapat asimetrisme nasional dengan pertimbangan sebagai pusat ekonomi nasional dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 17.23 Persen,” ujar Senator asal DKI Jakarta tersebut.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta akan tetap strategis dalam ekonomi nasional jika sudah ditetapkan sebagai daerah khusus ekonomi,” lanjutnya.
Senada dengan Sylviana, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyampaikan bahwa kekhususan yang dimiliki Jakarta harus tetap ada, yakni berupa kekhususan dalam ekonomi yang dimana Jakarta menyumbang Pendapatan nasional yang cukup tinggi.
“Dinamika dan perkembangan Jakarta sendiri harus menjadi basis material yang digunakan untuk menyusun yang menjadi kewenangan khusus yang diberikan terhadap Provinsi Jakarta,” ujar Robert.
“Selepas kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara perlu untuk melihat basis baru kekhususan Jakarta berbasis perkembangan yang aktual sebagai kota yang bertaraf metropolitan atau bahkan megapolitan,” tambahnya.