Bansos Jaga APBN dan Masyarakat dari Inflasi Global
Jakarta – Inflasi global akibat tingginya suku bunga internasional, yang didorong oleh keputusan The Fed AS menaikkan suku bunga, dan diimbuhi pula oleh dampak perang Rusia-Ukraina, menambah “gelapnya” prospek kebangkitan ekonomi global. Berlanjutnya kerusakan jalur pasok bagi komoditas energi, pangan, dan pupuk dunia memicu menambah beban bagi APBN banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam rangka memitigasi beban yang diterima oleh kelompok masyarakat yang rentan, Pemerintah Indonesia telah melancarkan program bantalan sosial, senilai Rp 24,17 trilyun dan mencakup kurang-lebih 38 juta anggota masyarakat terdampak dan mengurangi subsidi terhadap BBM, yang harganya telah disesuaikan, agar APBN tidak ‘jebol’.
Sikap pemerintah menaikkan harga BBM dibarengi dengan kebijakan memberikan bantalan sosial (bansos) kepada masyarakat karena dirasa lebih bermanfaat dan tepat sasaran daripada memberikan subsidi kepada produk.
Menurut mantan Menteri Keuangan 2014-2016, Prof. Bambang Brodjonegoro, kuat atau tidaknya APBN sangat terkait dengan kondisi global. Kendati demikian, APBN harus tetap menjadi instrumen efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Perlu disadari bahwa melihat APBN itu harus menyeluruh. Tujuan utama penggunaan APBN adalah untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat. APBN terbagi tiga komponen, yakni penerimaan, pengeluaran, dan pinjaman,” ujar Bambang dalam serial webinar Moya Institute bertajuk Langkah Penyelamatan APBN: Perlu atau Tidak, Jumat (23/9/2022).
Bambang mengemukakan bahwa sampai Juni 2022 realisasi penerimaan negara mencapai 58 persen atau Rp 1.013 Triliun sebagai akibat dari kenaikan harga komoditas yang tinggi. Namun hal tersebut sifatnya hanya situasional.
Bambang melanjutkan, dari sisi realisasi pengeluaran Kementerian/Lembaga (K/L) hingga saat ini telah terealisasikan sebanyak 41,5 persen dari alokasi yang ditetapkan pada Tahun Anggaran 2022. Dari jumlah tersebut ada bagian yang didistribusikan K/L untuk belanja sosial.
“Ini cara pemerintah membantu ekonomi masyarakat yang membutuhkan, bukan melalui subsidi harga komoditas, yang ditentukan oleh pasar internasional. Kalau yang sampai ke masyarakat harus bantuan langsung,” ucap Bambang.
Ekonom Indef Berly Martawardaya menyampaikan, APBN adalah alat utama yang berfungsi sebagai stabilitas, distribusi, dan alokasi. Berty menyatakan, APBN harus diseimbangkan agar mampu berperan sebagai pelindung kelompok masyarakat ekonomi rentan.
Berly mengatakan, melesetnya prediksi pemerintah terhadap harga minyak dunia (Indonesia Crude Oil Price), memaksa pemerintah untuk melakukan perubahan APBN. Dalam kondisi seperti ini, Berty berpendapat, diperlukan peningkatan pengeluaran bansos daru APBN, dengan mengakurasikan data para penerima manfaat, sehingga kebocoran tidak terjadi.
Sementara Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas mengungkapkan, dalam beberapa survei dilakukan ditemukan kesimpulan adanya informasi asimetris mengenai kenaikan harga BBM oleh masyarakat, sehingga menjadi “lahan” bagi kelompok kepentingan mengeksploitasinya, mendiskreditkan pemerintah.
Informasi asimetris inilah yang membuat terjadinya penolakan masyarakat terhadap keputusan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM tersebut.
“Rakyat masih mengandalkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan mayoritas dari mereka (69 persen) masih percaya bahwa Presiden Joko Widodo mampu memitigasi dampak krisis ekonomi global,” imbuh Sirojudin.
Memang penjelasan tentang pemberian subsidi kepada keluarga penerima manfaat daripada hanya kepada komoditas tertentu perlu lebih dimasifkan, agar penolakan tidak meluas, pungkas Sirojuddin.
Selanjutnya politisi reformasi Fahri Hamzah mengatakan bahwa banyak politikus yang mengambil ruang publik para pakar ekonomi, sehingga kampanye pemerintah tentang kenaikan harga BBM kerap didistorsi oleh segelintir kelompok kepentingan.
Fahri menjabarkan, penjelasan-penjelasan tentang arah dan perkembangan ekonomi Indonesia memang harus dibenahi secara serius, sehingga tidak membingungkan masyarakat.
“Akibatnya, ketika pemerintah menyatakan perlu menyelamatkan APBN dari inflasi dan tekanan krisis ekonomi global, masih banyak masyarakat tidak memahami, yang kemudian dimanfaatkan oleh para politisi untuk mencapai tujuan tertentu. Situasi seperti ini harus diakhiri,” ujar Fahri.
Pemerhati isu strategis dan politik global Imron Cotan dalam tanggapannya menyampaikan bahwa saat ini memang sudah saatnya mengubah kebijakan memberi subsidi kepada produk, menjadi kepada keluarga penerima manfaat.
“Penyaluran bansos yang tepat sasaran dan mencegah kebocoran memang terasa penting, yang dapat dilakukan melalui digitalisasi data. Jadi secara bertahap kita harus meninggalkan pendekatan tradisional dari subsidi produk ke subsidi kepada masyarakat penerima manfaat,” beber Imron.
Menurut Imron, melalui digitalisasi data, pengawasan penyaluran bansos akan lebih mudah dilakukan, sehingga menghindari penyelewengan di lapangan.
Jika terjadi anomali, maka dapat disalurkan melalui perangkat demokrasi, yaitu parpol, media massa, dan parlemen, daripada turun ke jalan yang justru menambah kesulitan bagi rakyat, pungkas Imron.
Direktur Eksekutif Moya Institute Heri Sucipto mengatakan bahwa kenaikan harga BBM tidak dapat ditampik memang menimbulkan efek dalam kehidupan ekonomi rakyat. Oleh sebab itu, ungkap Heri, keputusan pemerintah untuk menjaga tingkat konsumsi publik, melalui peluncuran program bantalan sosial, perlu didukung dan diawasi secara ketat.