Demi Hasilkan Produksi TBS Maksimal, Kementan Dorong Pengelolaan Air pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Secara Optimal

0

Jambi – Menurut data dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) diketahui bahwa Indonesia memiliki lahan gambut dengan luasan mencapai 13.405.734 ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan gambut terluas terdapat di Pulau Sumatera, yaitu sekitar 43% dari luas lahan gambut Indonesia, dengan mayoritas tersebar di provinsi Sumatera Selatan, Riau dan Jambi. Pemanfaatan gambut khususnya pada sektor pertanian masih menjadi pilihan utama terutama bagi wilayah yang didominasi lahan gambut, seperti di Riau dan Jambi, dengan komoditas utama kelapa sawit. Hal ini karena berdasarkan riset, pengembangan kebun dan industri minyak kelapa sawit di lahan gambut dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak 1 orang per 4 ha.

“Dalam mendukung upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Provinsi Jambi, Kementerian Pertanian khususnya Ditjen Perkebunan melalui Program Hibah BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Landscape (BioCF-ISFL) dari World Bank, melaksanakan kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Air pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Bimtek ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapabilitas pekebun dan tenaga pendamping/penyuluh kelapa sawit khususnya dalam penerapan sistem pengelolaan/budidaya kelapa sawit pada lahan gambut sebagai upaya penurunan emisi GRK pada perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi dan menunjukkan pada dunia peran aktif industri kelapa sawit dalam upaya menanggulangi dampak perubahan iklim,” ujar Baginda Siagian, Direktur Perlindungan Perkebunan Ditjen Perkebunan, Kementan, pada acara Bimtek di Provinsi Jambi pada tanggal 3-5 Oktober 2022 di Luminor Hotel Jambi.

Baginda menambahkan, Pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya air secara optimal sehingga produksi TBS maksimal, serta dapat mempertahankan kelestarian gambut itu sendiri.

Ia menjelaskan bahwa, Salah satu teknik pengelolaan air di lahan gambut dilakukan dengan membuat parit/kanal sebagai saluran drainase, agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan air. Drainase yang buruk pada tanah gambut menyebabkan terjadi penyusutan massa, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah gambut (peat subsidence) yang mengakibatkan tanaman yang tumbuh menjadi miring dan tumbang, mudah terbakar, dan bentuk permukaan tanah tidak rata. Ketersediaan air bagi tanaman kelapa sawit di lapangan diperoleh dari hujan yang terjadi di areal tersebut. Besarnya curah hujan mempengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit.

“Pengelolaan tata air merupakan faktor kritis terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, karena pengelolaan tata air yang buruk akan berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi,” jelasnya.

Level air yang terlalu rendah akan meningkatkan laju subsiden dan risiko insidensi kebakaran gambut serta tidak terjaminnya ketersediaan air untuk kebun sawit. Drainase yang buruk akan menyebabkan tidak terjaganya air di lahan sehingga dapat terjadi kondisi kering tak balik (irreversible). Level air merupakan faktor penting yang menentukan pengaturan emisi gas rumah kaca pada tanah gambut. Level air yang semakin rendah akan meningkatkan emisi CO2 dan N2O, sedangkan kondisi banjir akan menghasilkan emisi CH4. Level air diusahakan pada kisaran 50-75 cm di bawah permukaan tanah.

“Pengaturan tinggi muka air dalam yang baik mampu menekan emisi gas rumah kaca, memberi harapan dapat dilakukannya pengelolaan gambut yang lebih berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Baginda menambahkan, Perlunya mengenali karakteristik lahan gambut di suatu wilayah agar pemanfaatannya sesuai dengan potensi yang dimiliki lahan gambut tersebut yang berimplikasi pada keberlanjutan usahatani perkebunan. Dimana konsep budidaya sawit ramah lingkungan mampu memastikan keberlanjutan usahatani perkebunan kelapa sawit yang menjadi sumber mata pencaharian banyak pekebun sambil menjaga kelestarian lingkungan.

Untuk itu, Lanjut Baginda, Pentingnya penerapan sistem tata air terkendali untuk mencegah terjadinya overdrain menjadi kunci keberhasilan perkebunan di lahan gambut.

“Upaya untuk meningkatan kesuburan dan produktivitas kelapa sawit pada lahan gambut perlu dimulai dengan pemahaman pekebun terhadap fisiologi tanaman sawit di lahan gambut, perhitungan dosis dan pemilihan pupuk yang tepat, serta penentuan waktu pemupukan dengan mempertimbangkan curah hujan dan kondisi lahan gambut. Perlu ditekankan bahwa kunci sukses dalam mengelola air di perkebunan sawit untuk mencegah terjadinya banjir saat hujan dan kekeringan saat kemarau adalah mengetahui jalur masuk dan keluar air di kebun sawit kita,” ujarnya.

Baginda berharap, dengan adanya bimtek ini dapat memberikan ilmu dan edukasi kepada pihak-pihak terkait, sehingga produksi TBS dapat semakin maksimal dan optimal, yang nantinya tentu akan berdampak positif bagi pendapatan pekebun kelapa sawit.

Adapun narasumber pada bimtek tersebut yaitu dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan PT. Sumber tama Nusa Pertiwi – Jambi, dimana dihadiri 76 orang yang berasal dari instansi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Kabupaten Tebo, Dinas Perkebunan Kabupaten Sarolangun, Dinas Perkebunan Kabupaten Merangin, Dinas Perkebunan Kabupaten Muaro Jambi, Dinas Perkebunan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Dinas Perkebunan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tenaga pendamping/penyuluh pada dinas perkebunan provinsi dan kabupaten, pekebun kelapa sawit/anggota kelompok tani/KTPA yang lokasi atau kebunnya berada pada Kawasan gambut dan rawan terjadi kebakaran lahan, dan Direktorat Jenderal Perkebunan.

Pada acara tersebut dilanjutkan kegiatan Field Trip ke PT Sumbertama Nusa Pertiwi di Kabupaten Muaro Jambi untuk melihat sistem pengelolaan air yang baik untuk tanaman kelapa sawit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *